Senin, 01 November 2010

Magelang I'm Coming : Sebuah Cerpen Kisah Nyata


Minggu kemarin adalah minggu yang tak kurencanakan. Melakukan perjalanan ke bumi bencana Magelang. Kota ini sedang menjadi buah bibir oleh media, baik Koran, majalah, radio lebih-lebih televisi. Bukan karena Borobudur yang sudah dipecat dari 7 wonders, tapi kepulan gegembelan yang muncrat dari gunung merapi yang kokoh berdiri berabad-abad.

Jangan salah, karena kota RSJ ini pun melambungkan nama Indonesia di jagad maya macam twitter. Lewat gerakan #prayforIndonesia, orang sekelas Tom Cruise, pelanggan oskar Jony Deep, penggila jumper Biber ikut urun rembug support doa dan sumbangan untuk bumi pertiwi. Sungguh kejadian alam yang tubi-tubi dialami Indonesia menggemparkan nurani insan dunia.

Bayangkan, pengamatanku mulai ‘engeh’ saat Wasior meluberkan airnya dimana-mana. Kala itu banyak sekali kepala keluarga kehilangan rumah-rumahnya. Dilanjut dalam hitungan beberapa hari, Mentawai diguncang 7,3 SR gempa yang berpotensi Tsunami. Blarr… tsunami benar-benar menepati janjinya untuk datang jika gempa itu sudah lebih dari hitungan 7 SR.

Eits, tak berhenti disitu saja, kini merapi, yang nota bene gunung aktif di Jawa tengah yang juga ikut melambungkan nama tokoh fenomenal Mas Penewu Suraksohargo (Maridjan), muntah berkali-kali. Sampai tadi siang pun aku masih melihat update twitter dari Followingku. Muntahan ini beragam, dari mulai abu vulkanik, bulu domba, dan lava pijar. Masya Allah, astagfirullahaladzim… anak Krakatau pun ikut-ikutan berstatus waspada. Mengerikan!

Perjalanan kami mulai sekitar habis dhuhur. Start dari Mugas, kami berlima sepakat untuk dateng ke Magelang. Bukan untuk kesenangan atau hura-hura, tapi memenuhi amanah teman-teman yang sudah mengkoleksi banyak pakaian bekas, pangan, macam-macam untuk bisa digunakan para korban bencana.

Hati saya sempat was-was dan tak yakin. Bayangan buruk meletup-letup di ubun-ubun. Kalah dengan bau keringat yang mencampur di dalam mobil. Pikiran aneh itu merasuk tanpa alasan. Seakan tak akan bertemu dengan kota lumpia lagi. Lebay, alay memang. Hahaha. Kadang suka parno sendiri kalau mau melakukan hal bertajuk first experience.

Terlebih ketika facebook sudah muali ku update, twitter sudah mulai kukicaukan, komentar mulai membuat ragu-raguku menguat. Namun apa yang bisa kulakukan? Perjalanan sudah melaju sampai separuh jalan. Tak mungkin aku kembali hanya karena perasaan yang tak enak.

Mungkin, kegelisahan ini bisa dirasakan Ibunda yang ada di rumah. Subhanallah, sesaat itupun HPku berteriak, memunculkan nama ‘Ibunda’. Setelah kuangkat, kami mengobrol, beliau maksud dengan apa yang akan ku kerjakan, Alhamdulillah batin terasa tenang. Paling tidak aku sudah minta doa restu dari orang tua.

Sesampai di Magelang, kami berhenti di reramaian. Aku tak tahu tepatnya jalan dimana. Tapi, tiar, abra dan mas ipank sempat menyebut-nyebut kedai. Aku tak yakin itu kedai digital, apalagi kedai yogurt (haha.. mbayar ki, wis tak sebut). Tapi seingatku sebelah tempat kami berkumpul itu, tak jauh ada swalayan bermerk ‘raksasa’.

Bertemu dengan rekan seorbit 165, rasanya hati makin tenang dan mantab. Bahkan aku tak sanggup membendung keinginan ke merapi. ‘cepat, ayo kita berangkat sekarang!”, begitu teriakku dalam hati. Tapi, ternyata kami harus mengulur waktu dulu sampai uang sumbangan ditanganku ludes dan berubah menjadi barang-barang siap terima. Disarankan tak memberi uang untuk para pengungsi, sulit menyalurkannya.

Perjalanan mencari makanan dan barang-barang untuk disalurkan cukup lama. Beberapa kali keluar masuk pasar, merayap satu tempat ke tempat lain. Beli susu, roti, makanan apapun yang bergizi dan siap santap, celana dalam, pembalut wanita, masker, apapun perkiraan yang dibutuhkan. Sampai akhirnya semua terkumpul di bagasi belakang mobil. Kini jumlahnya bertambah banyak.

Oke, setelah semuanya benar-benar ready. Kami melanjutkan perjalanan ke TKP. Sebelumnya kami sempat mampir ke masjid untuk melakukan ibadah sholat ashar. Karena aku sendiri sudah sholat, aku menunggu di luar. Dan, apa yang terjadi, satu mobil bak lewat dengan begitu tergesa-gesa. Membawa pasukan berpakaian serba orange bertutup mulutnya dengan masker hijau. Wajah mereka panik, berteriak ‘minggir’, ‘awas’, terburu-buru. Ternyata mereka baru saja dapat kabar kalau merapi kembali batuk dan mengeluarkan sesuatu dari atas pucuknya. Ya Allah, benarkan keadaan makin parah?

Kami mengikuti jejak para prajurit oranye itu. Menuju penampungan para korban merapi. Kami tka berkunjung ke merapinya langsung. Ternyata yang kami jambangi adalah sebuah sekolahan, SMPN 1 Sawangan. Ada lebih dari 900 jiwa menjubeli sekolahan ini.

Gilaaa, surprise gueee… buanyak banget yang pada ngungsi. Semua wajahnya sangat khas merapi. Kulit dan wajahnya gelap, polos, pribumi sekali. Ya Allah, banyak juga anak-anaknya, lucu-lucu lagi. Anak sekecil itu harus menerima kenyataan tinggal di penampungan? Sedih, mellow ngedrop perasaan ini. Memaksa menyebut Alhamdulillah karena aku masih diberi lebih kemudahan dari pada mereka.

Sempat kutemui si pengungsi yang membawa bayi berumur 6 bulan. Nama anaknya Yoga. Cepat sekali dia akrab denganku. Tidak menangis, malah girang melihatku. Haha, dia tertarik mungkin sama kebundaran bodyku. Sesekali menarik tali masker yang sudah ku belitkan di leher. Sempat juga kugendong, dan mau. Waahahaha, bakat kali ya jadi babysitter.

Sempat kutanya, Ibunya Yoga yang masih muda kelihatannya. Mungkin belasan tahun usianya. Ternyata sudah tiga hari mereka di SMP yang berstandar nasional ini. Tak banyak membawa barang-barang. Semua barang dan harta ditinggal di lereng merapi. Kesian…

Ketika kutanya apa keperluan yang mendesak mesti dipenuhi? Sang Ibu menjawab handuk bayi. Namun, aku tak berani memberikan apa yang mereka minta. Karena memang sudah ada coordinator pengungsian yang mengurusi jatah bagian sendiri-sendiri untuk mereka.

Yang sedikit menarik bagi saya, mirip lebih tepatnya. Banyak bapak usia paruh baya bahkan manula, merokok. Bal-bul sering sekali mereka. Mungkin karena kedinginan atau kebiasaan merokoknya. Tapi tahukah kau, yang dirokok itu apa? Kertas seadanya yang digulung, tak ada tembakaunya. Yang penting ada asap yang disemburkan melalui mulut tuanya. Masya Allah, segitunya ik…

Banyak lagi yang lainnya. Sang kepala sekolah yang sabar menerima keluhan dari para pengungsi, menerima relawan yang sudah sudi membantu dengan tetap tersenyum, sunggu luar biasa. Entah seberapa besar pusingnya pak WES (nama gaul bapak itu). Banyak sekali kekardusan menumpuk di sana-sini. Di dalam dan luar ruangan. Belum ndang dikasih, entahlah menunggu prosedur biar tertib lah mungkin. Dan merata pastinya.

Setelah langit makin gelap, dan mulai turun hujan. Kami memutuskan untuk meninggalkan SMP N 1 Sawangan dengan hati penuh rasa. Gulana karena melihat para pengungsi, tetep wajib bersyukur karena masih dikasih enak sama Allah. Kami tinggalkan, benar-benar dengan hati yang perih, mampu ikut merasakan susahnya menjadi victim alias korban. Sabar ya saudara-saudaraku sebangsa setanah air. Semoga dosa-dosamu berkurang karena penderitaan ini. Semoga merapi pun cepat berlalu bahayanya.